BUDAYA TUDURANI/ LEK-LEK'AN 1 SURO ATAU 1 MUHARRAM
BUDAYA TUDURANI/ LEK-LEK'AN 1 SURO ATAU 1 MUHARRAM
BUDAYA TUDURANI/ LEK-LEK'AN 1 SURO ATAU 1 MUHARRAM
Ra elok, atau pamali melakukan beberapa aktivitas di tanggal 1 Suro atau 1 Muharram kadang masih menjadi momok beberapa golongan warga. Bahkan, bisajadi paradigma ini masih mengakar kuat, melebihi ketakutan akan bahaya pandemi COVID-19 di masa sekarang, yang jelas telah banyak menghantui hari-hari kita tanpa batasan waktu. Bukan tanpa alasan, paradigma ini mengakar kuat di hati masyarakat. Hanya saja, mungkin banyak pergeseran makna yang diartikan oleh banyak kaum awam yang belum mendapat kejelasan tentang makna tanggal 1 Muharram. Pikiran ini menjadi tambah kuat saat banyak cerita-cerita dan film yang mengangkat tema 1 Suro banyak dibumbui oleh unsur mistis dan ghaib. Saking kentalnya kepercayaan masyarakat, bahkan masih banyak warga yang harus berpikir 1000 kali untuk mengadakan acara pernikahan pada bulan ini.
Perlu pemahaman yang mendasar untuk bisa mematahkan banyak penyimpangan tentang makna 1 Suro. Sebagai generasi muda yang saat ini dilimpahi akses belajar yang tak terbatas dari berbagai sumber dan media, sudah sekiranya kita cerdas memilih, memilah suatu pemikiran. Maka marilah kita kembali belajar tentang makna Muharram bagi kita semua.
Sebelum zaman Nabi Muhammad SAW, masyarakat Arab tidak menggunakan sistem kalender tahunan untuk memperingati suatu peristiwa. Mereka hanya menggunakan sistem hari dan bulan. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang lahir pada tahun Gajah, masyarakat Arab tidak menggunakan angka dalam menentukan tahun.
Semua para sahabat Rasul Allah, seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan Thalhan bin Ubaidillah berdiskusi untuk menentukan sistem kalender Islam. Dari banyaknya usulan, terpilihlah usulan dari Ali bin Abi Thalib yang mengusulkan kalender Hijriyah Islam dimulai dari persitiwa hijrah Nabi Muhammad SAW.
Sejak saat itu penanggalan Islam (Hijriyah) didasarkan pada peredaran bulan (lunar), bukan peredaran matahari (solar) sebagaimana sistem penanggalan Masehi.
Dan Islam memiliki dua belas bulan dalam hitungan satu tahun menurut hitungan yang telah ditetapkan.
Empat bulan di antaranya adalah bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt yang disebut juga dengan bulan haram. Keempatnya adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram Hijriyah harus dilakukan sesuai dengan tujuan dijadikannya hijrah sebagai awal sistem penanggalan Islam, yakni memaknai dan mengamalkan hijrah.
Hijrah adalah bagian dari strategi dakwah yang berbuah berdirinyaDaulah Islam di Madinah hingga terbentuknya Khilafah Islamiyah, termasuk Khulafaur Rasyidin, hingga Khilafah Turki Utsmaniyah (Ottoman Turki) sebagai khilafah terakhir dalam sejarah Islam.
Hijrah masih berlaku hingga kini. Hijrah setelah Futuh Makkah, menurut Nabi Muhammad Saw, adalah "meninggalkan hal dilarang" alias melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.
Hijrah, sebagaimana peristiwa penting lain, juga mengandukung hikmah (pelajaran). Penggalian makna hijrah harus dilakukan dalam peringatan tahun baru Islam.
“Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 100)
“Muslim adalah seseorang yang menghindari menyakiti Muslim dengan lidah dan tangannya. Dan Muhajir adalah orang yang meninggalkan semua apa yang Allah telah larang.” (HR Bukhari).
"Begitupun dengan sebagian besar masyarakat Desa Nguntoronadi yang merayakan 1 Muharram dengan TUDURANI (tirakat malam) atau yang kita kenal LEK-LEK'AN, sesungguhnya adalah kearifan lokal yang kami lakukan secara turun temurun sebagai salah satu wujud syukur dan pengevaluasian diri atas tahun yang telah berlalu, dan sebagai rentetan doa untuk awal tahun yang lebih baik, bukan sebagai budaya pensyakralan suatu hari ataupun bulan yang tentunya bertentangan dengan ajaran Islam," tutur Bapak Basuki Rahmad selaku Kepala Desa Nguntoronadi.
Dan seluruh masyarakat Desa Nguntoronadi mengucapkan...
"Kulla ‘am wa antum bikhair. Selama tahun baru islam 1 muharram 1442 H. Mari kita berhijrah pada kehidupan yang lebih baik".